Perang besar melawan penjajah berkobar di Surabaya, Jawa Timur pada 10 November 1945. Menghormati perjuangan dan pengorbanan pejuang dan rakyat Surabaya pada era itu, tanggal 10 November pun ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Nama Sutomo atau lebih populer disapa dengan Bung Tomo identik dengan momen heroik itu. Pidatonya berapi-api menyulut semangat dan keberanian rakyat Surabaya kala itu. Foto Bung Tomo saat pidato yang ikonik itu masih beredar hingga kini.
Di balik kegarangannya, Bung Tomo menyimpan sisi romantis. Sisi ini tercatat oleh Sulistiana Sutomo, sang istri yang meninggal menyusul suaminya pada Rabu dini hari 31 Agustus 2016.
Seperti dilansir Antara, pada usia senja sebelum ajal menjemput, ibu empat anak dan nenek dari 12 cucu itu menyibukkan hari-harinya dengan berkebun dan menulis di kediamannya, kawasan Kota Wisata Cibubur, Bogor, Jabar.
Salah satu karya Lies, panggilan Sulistiana, adalah buku Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan. Buku itu adalah hasil kumpulan surat-surat Bung Tomo yang dikumpulkan Sulistina selama puluhan tahun.
Awal pertemuan Lies dengan Bung Tomo pada tahun 1945, saat Lies bekerja di Palang Merah Indonesia (PMI). Lies dari Malang dikirim khusus ke Surabaya untuk merawat para pejuang terluka dan gugur dalam peristiwa bersejarah 10 November.
Di Surabaya itulah Lies kenal Bung Tomo. Lies cukup salah tingkah dengan gerak-gerik pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya yang saat itu sudah menjadi idola rakyat. Bung Tomo sendiri selalu cari perhatian ketika Lies bekerja merawat para pejuang yang terluka di tenda-tenda pertolongan.
Perjuangan Bung Tomo menaklukkan istrinya tak berhenti ketika itu saja. Bung Tomo terus merajut romantismenya dalam setiap surat-surat yang dikirim ketika bertugas keluar kota.
Sosok Bung Tomo adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa kesatria, pemberani, dan romantis. Di bawah berbagai tekanan yang dialaminya, Bung Tomo selalu mencurahkan isi hati kepada keluarga melalui puisi dan surat-surat cintanya dari balik kamar tahanan.
Rayuan Bung Tomo
Bung Tomo juga sering berpesan kepada Lies melalui suratnya supaya terus merindukannya. "Bila kesepian, ambilah buku pelajaran Bahasa Inggris kita, en'success," begitu isi surat Bung Tomo.
Panggilan 'Tiengke' atau sayang juga diberikan kepada Lies. Kata itu selalu menghiasi kop surat yang dikirim Bung Tomo kepada Lies.
Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya 'Tieng adikku sayang', 'Tieng istri pujaanku', 'Dik Tinaku sing ayu dewe', 'Tieng Bojoku sing denok debleng', atau 'Tiengke Sayang'.
Bung Tomo sibuk dengan tugasnya. Tak heran, ketika pulang Bung Tomo selalu memanjakan istrinya itu. Ketika berdua dan anak-anak tidak ada, Bung Tomo sering menarik tangan Lies, lalu berdansa.
Cinta yang ditanam Bung Tomo selama bertahun-tahun sungguh merasuk ke relung jiwa Lies. Cinta mereka tak terhalang ruang dan waktu. Ketika suaminya meninggal pada 1981 di Mekah, berkali-kali Lies bermimpi dipeluk Bung Tomo yang menggunakan baju biru.
Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Lies tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu. Salah satu surat yang termuat dalam buku keempatnya, Lies menulis:
"Untuk Suamiku, kemarin tanggal 18 Desember 2004 saya telah menghadiri peluncuran buku Tarbawi dengan anak kita Bambang Sulistomo. Saya telah tertarik dengan surat undangannya, karena di situ tercantum nama Mas Tom."
"Meskipun saya masih sakit, karena tangan saya yang kiri masih dalam gedongan, saya perlukan datang. Saya waktu itu sedang pulang dari sholat Idul Adha, jatuh di tengah jalan dan tangan saya yang kiri patah."
http://regional.liputan6.com/read/2591376/bung-tomo-yang-garang-ternyata-so-sweet